Dinuri
bersama anggota yang berjumlah 67 petani pun mencoba belajar
mengembangkan dan mengemasnya sendiri. “Kami ingin petani memiliki
posisi tawar dan tidak hanya menjual ke eksportir,” katanya. Ia lalu
menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga terkait seperti Perhutani
untuk penanaman kopi pada lahan hutan yang rusak, Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian, serta PUM
Netherlands Senior Expert (NSE).
Kerjasama
itu, menurut Sipke de Schiffart, ahli kopi dari PUM Netherlands Senior
Expert (NSE), tidak sebatas peningkatan kualitas produksi, tetapi juga
cara menghasilkan kualitas kopi terbaik untuk masuk ke pasar
internasional, pascapanen hingga pengemasan. “Setiap pembeli di luar
negeri menghendaki spesifikasi produk berbeda, maka dengan terus
meningkatkan kualitas produk, maka kopi dari Malabar bisa dikenal secara
internasional,” Schiffart menjawab AGRINA.
Supriatna
menambahkan, luasan kebun kopi milik kelompoknya mencapai 338 ha dengan
populasi 2.500 batang per ha. Sebanyak 103 ha di antaranya produktif
menghasilkan 120 ton per biji siap jual per tahun atau per musim. Kini
mereka menerapkan sistem pengolahan sehingga kualitas produk meningkat..
“Kerjasama dengan PUM Netherlands Senior Expert (NSE) bisa berkembang
lebih luas dan memberikan dampak positif bagi petani,” terang Dinuri.
Tidak
mengherankan bila pada kontes Kopi Nusantara IV 2009 yang diikuti 20
kelompok tani andalan se-Indonesia, kopi dari KTKR meraih peringkat
ketiga kopi favorit terbaik untuk citarasa kopi arabika. Karena itu pada
15 Juni 2010, KTKR mendirikan perusahaan dengan nama PT NuGa Ramitra.
Lantaran ingin bisa bersaing di pasar yang lebih luas dan memiliki merek
dagang sendiri, mereka mendaftarkan hak paten Kopi Malabar Arabica dan Kopi Luwak Malabar.
Harus Sesuai Kebiasaan dan Habitat Luwak
Kopi
luwak memang memiliki ciri khas tersendiri, baik secara proses dan
citarasanya. Pun harganya paling mahal, lebih dari Rp1 juta per kg.
Kendati demikian kopi luwak bukan menjadi produk unggulan bagi KTKPR.
Mereka lebih mengandalkan kopi arabika. Kopi luwak ini hanya mencakup 10
persen dari total produksi kelompok tani.

Kini
beberapa LSM luar negeri mulai mempermasalahkan kopi luwak dalam
perdagangan internasional. Menurut mereka, kopi ini diproduksi dengan
mengeksploitasi luwak di alam. Alasan lainnya, menyalahi ketentuan
kesejahteraan hewan (animal welfare), populasi luwak sudah
langka, dan binatang ini masuk dalam Convention on Internasional Trade
in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) appendix III.
Artinya, status luwak dilindungi di daerah asalnya dan kawasan tempatnya
hidup. Jika diperdagangkan harus berasal dari tangkaran sehingga tidak
boleh lagi menggunakan tangkapan liar. Untuk itu petani tetap bisa
memproduksi kopi luwak dengan memanfaatkan luwak hasil ternak.
Menanggapi
isu itu, Schiffart berpendapat, budidaya yang dilakukan petani sudah
sesuai kaidah kesejahteraan hewan sebab luwak dipelihara di tempat
sesuai habitat alaminya. Karean itu ia dan PUM akan memfasilitasi
kelompok tani untuk mendapatkan sertifikasi agar tetap bisa memproduksi
kopi luwak untuk dipasarkan ke Eropa.
Lebih
jauh tentang cara menghasilkan kopi luwak berkualitas tinggi Dinuri
menjelaskan, petani memelihara luwak yang sehat. Pada prinsipnya, luwak
peliharaan ini memakan biji kopi bukan karena lapar tapi lantaran
membutuhkan nutrisi dari buah kopi. “Jika lapar biji kopi yang dimakan
banyak, tapi kualitasnya kurang bagus. Berbeda jika luwak tersebut makan
buah kopi karena sudah kenyang dan butuh tambahan nutrisi bagi
tubuhnya, “ jelasnya.
Sekarang
ini, Dinuri sendiri memelihara 187 ekor luwak secara baik dengan
mengutamakan faktor perkawinan, pakan, tatalaksana pemeliharaan, dan
pengendalian penyakitnya. Setiap pagi luwak mendapatkan jatah pakan
sesuai yang di habitat alaminya, yaitu buah-buahan seperti pisang,
pepaya, apel, juga belut serta ayam. Sedangkan buah kopi yang sudah tua
disajikan dua kali sehari, pukul enam padi dan tujuh malam. Si luwak
tidak akan mehalap semua buah kopi yang disediakan dalam wadah, tetapi
memilih beberapa saja.
Hasil
konsumsi kopi oleh pada pagi hari dapat dipanen siang hari. Sedangkan
yang dikonsumsi malam hari, dikumpulkan petani esok pagi berikutnya.
Biji kopi yang terbalut kotoran luwak ini dibersihkan dua kali. Lalu,
biji kopi dihilangkan kulit arinya dengan mesin. Biji kopi kemudian
dikeringkan dan diolah menjadi kopi bubuk.
0 komentar:
Posting Komentar